YOGYAKARTA - Emak melahirkanku di RS Bethesda Jalan Jenderal Sudirman. Masa itu rumahku di pinggir Jalan Solo (Sekarang Jenderal Urip Sumoharjo) 1/2 KM dari RS tersebut dekat Bioskop RAHAYU kampung Purbonegaran. Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.
Aku tumbuh menjadi ‘Wong Yogjo’ seiring proses metamorfosis ayahku, perantau Sumatera Selatan yang kuliah di Fakultas FIPA UGM, dari wujud Wong Palembang pelan tapi pasti merubah diri menjadi Wong Yogjo, tidak pernah pindah kota karena kecintaannya. Sebaliknya aku kembali ke kampung halaman ayah dan selama 5 tahun tinggal di Palembang.
Masa itu Jalan Solo dan Sudirman, dari IAIN (Universitas Islam Negeri) hingga Gondolayu Bridge berjejer pohon Asam Jawa usia puluhan tahun. Bahkan +/- 400 M arah timur rumahku ada pohon Randu Alas raksasa usia 100-an tahun diameter lebih 2 m sebelum ditebang tahun 1977. Seluruh penjuru Jogya masih banyak kerindangan pohon besar.
Lokasi pohon raksasa itu saat ini berada dipojok barat laut lapangan Futsal seberang BANK BCA Jl. Urip Sumoharjo (terakhir sekilas kulihat november 2011, sudah menjadi Supermarket Besar). Pohon ‘raksasa’ – sama seperti RANDU ALAS yang masih kukuh di pintu gerbang halaman rumah Pelukis surealist AFANDI, jembatan GADJAH WONG - ini hanya berjarak 30 meter sebelah selatan jalan raya dan jika sore hadir suara harmoni alam dari burung dan kelawar. Tidak terusik, karena mobil atau sepeda motor relatif sedikit, lebih banyak becak, sepeda dan kereta kuda.
Gerobag Sapi is a Cow Caravan of Java Setiap hari jalan raya di depan rumahku berlalu-lalang
Andong (kereta kuda) dan gerobag sapi membawa hasil pertanian dari Sleman dan Prambanan ke pasar-pasar kota Jogyakarta. Jalan raya masih 2 arah tanpa Traffic Light.
Aku sering menumpang Gerobag Sapi, naik dari depan Bioskop RAHAYU (dekat rumah) dan minta turun di (Hotel) Ambarukmo, kecepatan Gerobag Sapi lebih pelan dari sepeda namun sangat sensasional sebab berjalan sambil bergoyang. pulangnya berjalan kaki 4KM bersama kawan sepermainan.
Sungai-sungainya menjadi tempat favorit; mencari ikan Wader, Kuthuk, Cethul, Kepala Timah, Lele bahkan udang di dasar sungai jernih yang berbatu dan pasir, hampir-hampir tidak ada sampah plastik atau limbah. Paling favorit cari udang sungai ukuran besar kehitaman, karena begitu dapat langsung dijemur saja sampai benar-benar merah - siap disantap dan Wuih gurih!!! Lemak nian!! uji wong Palembang - Dijemur diatas batu atau besi rel kereta api. Setiap pagi dan sore ramai, orang pun datang untuk mandi di sungai atau mata-air kecil yang banyak (di area persawahan sebelah timur kampus IAIN saja saat itu ada 6 mata-air kecil yang disebut "Mbelik").

Pemukiman Penduduk di daerah BANTUL - Yogyakarta
Sepulang sekolah di SD Negeri Balapan, belakang DUTA Photo sering aku menyusuri sungai mencari ikan dari Langensari dekat Bengkel kereta Api Pengok hingga ke mata-airnya di Kupel, kampung Kuningan sebelah timur Fakultas Hukum UGM (disebut juga lembah) yang masih banyak sawah dan Bong (makam Cina). Hobi ini terlampiaskan saat pindah ke kampung SAPEN. Aku puas menyusur sungai Gajah Wong dan kali Kucing di atasnya yang masih alami dengan sawah dan kebun karet di sebelah timur Timoho - saat itu masih berupa areal persawahan luas.
Untuk hiburan TV di tahun 1973 diperlukan perjuangan tersendiri sebab jarang sekali yang punya dan listrik juga langka, satu-satunya tempat di SAPEN hanya ada di perumahan dosen IAIN. Nontonnya rame-rame dari balik jendela jeruji besi. Waktu siaran TV mulai pukul 5 sore hingga pukul 12 malam. Tetapi aku tidak pernah menonton TV sampai larut, sebab setelah jam 7 malam jendelanya ditutup.
Jika masih mau menonton TV juga - terpaksa jalan kaki 1,5 Km karena tak mempunyai sepeda - ke Bengkel KA Pengok atau lebih jauh lagi ke jalan Sudirman, sebelah barat Tokobuku GRAMEDIA kini. Suasananya seperti nonton layar tancap bahkan ada orang jualan lagi. Sabtu malam ramai sekali orang untuk menonton Cerita Akhir Pekan jam 10-12 malam. Hingga sekarang masih aku ingat itu serial sore : SINTARO, Lancer, Bonanza, Rodex, Ivanho & Robinhood, Daniel Bond, Rin TinTin, Popeye The Sailor dan Woody Pecker Show
Sebelum Dunia Dalam Berita pukul 10 malam ditayangkan Hawaian Five O, mau klip videonya klik saja ini -->
Hawaian Fife O, The Champion,
Star Trek, Baretta, Jeanny (jin cantik dan kocak yang tinggal botol),
PRIMUS – Penyelam laut Dalam,
Twelve O Clock (kisah pilot AS dalam PD II),
Telly Savalas dan
The Saint - Roger Moore. Tapi yang menjadi favorit Film Cerita Akhir Pekan, 2 jam penuh tanpa iklan dengan film lepas pilihan seperti thema film perang, spionase atau drama.
Sementara “Gambar Hidup” (Cinema/Movie) setiap hari setidaknya 5 kali diputar di Bioskop terdekat – RAHAYU dengan tiket masuk Rp 50,- terasa sangat mahal. Uang jajan Seringgit (Rp. 2,50) atau Segelo (Rp. 1) sehari mana cukup beli tiket, kalaupun ada uang beli tiket, tetap juga tidak boleh masuk karena film-filmnya kategori 17 Tahun Keatas. Akhirnya dipuas-puasin deh!!! Mlototin poster-poster film atau sekali-kali menyelinap tidak bayar atau dari balik pintu setengah terbuka, mengintip lewat celah engsel pintu, sementara porter menyobek karcis, hingga saat pintu bioskop ditutup sepenuhnya. Dah!!! Puas tuntas deh ane.
Tahun 1974 hingga tahun 1976 tinggal di Kampung Kepuh, sebelum kemudian pindah ke kampung Demangan hingga sekarang – yang hanya di tempati orangtuaku. Sejarah migrasi keluarga saya hanya berkutat di Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta.
Berikut ini profil aku dan kenangan kota Yogyakarta dimasa lalu:
My father was a settled foreigner from South Sumatera who studied at the Faculty of FIPA UGM and my mother is a native resident. He so love Yogyakarta and never move from the city. My parents are dwelling in kampung Demangan Yogyakarta. Instead I have lived in my father's hometown, Palembang, for 5 years before living in Jakarta until now.
My first school was at primary school SDN Balapan (in the south of DUTA PHOTO, now a campus of STIE YKPN), proceeded to SMP Negeri V Kotabaru and then continue to SMAN I Teladan Yogyakarta. Finally I passed graduate of Economic Faculty of Gadjahmada University before settling in Palembang.
My High School – I was study in 1980s
Jembatan Gondolayu.
Sekarang masuk kelurahan Cokrodiningratan, kec. Jetis. Perhatikan dari kejauhan tampak tegak berdiri Tugu Yogyakarta dan di latar depan Abdi Dalem Kraton naik Sepeda Raleigh. dan di dekatnya kini berdiri HOTEL SANTIKA PREMIERE.
Jembatan Kreteg Kewek dari barat daya (Hotel Garuda) Tampak percabangan jalur rel Kereta Api dan latar belakang pemukiman asri Kota Baru dan Gedung Seminary Katholic. Samar-samar terbaca : Lucht Foto KNIL.
TUGU YOGYAKARTA –
Samar-samar di kejauhan terbaca TOKO SEN di jalan Mangkubumi menuju Malioboro. Tahun 1992 saya sempat membubut block mesin (kotter) sepedamotor GL 100. Masih adakah tokonya? Dibawah pohon besar (kanan) tampak Depot Es arah pasar Kranggan.
Jl. Pangeran Mangkubumi, tahun 1948Dapat dikenali dari bentuk trotoarnya dan pada sisi timur tidak ada pertokoan kecuali diujung utara jalan Pangeran Mangkubumi dekat Tugu. papan nama “Kedaulatan Rakyat” di sisi kiri jalan. Trotoar di sisi kanan saat ini menjadi jalur lambat.
KANTOR POS BESAR (sebelah kanan) dan BANK INDONESIA di KM NOL.
Photo ini di ambil dari depan Gedung Agung (Istana Presiden). Di seberang Gedung BI adalah halaman Benteng Vreedeburg. Saya masih ingat tahun 1972 jalan ke arah kiri dihiasi pepohonan lebat yang jika sore hari langit ditingkahi hiruk pikuk suara bangau, walet dan kelalawar. Tahun 1976 dibangun Monumen Yogya Kembali persis seberang Kantor Pos Besar. Mobil dan becak melaju arah kiri sementara saat ini pasti dilarang karena one way traffic.
KLA Project - Yogyakarta
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…
Kembali ke BAGIAN PALING ATAS halaman klik!
Back to Top